Harus ada fleksibilitas untuk koperasi nelayan tradisional dan Perusda.
REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS memberikan masukan terkait penyempurnaan pengelolaan perikanan tangkap terukur di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Hal itu ia sampaikan saat menjadi narasumber Rapat Koordinasi “Pengelolaan Sumber Daya Ikan di ZEEI” yang diadakan oleh Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim, Kemenko Marves secara hybrid di Bogor, Selasa (12/4).
Masukan tersebut antara lain, evaluasi perhitungan dan alokasi kuota penangkapan ikan dan besaran nilai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), untuk setiap badan usaha, dengan skala prioritas: koperasi nelayan tradisional lokal yang telah ditingkatkan kapasitasnya, Perusda (BUMD), BUMN, perusahaan swasta nasional, dan terakhir perusahaan asing.
“Di sini, kuota penangkapan ikan dihitung berdasarkan JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) di wilayah laut ZEEI (12 – 200 mil dari garis pantai) di setiap WPP-NRI (Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia). Sedangkan, wilayah perairan laut antara (0 – 12 mil) atau laut teritorial di setiap WPP-NRI itu hanya untuk nelayan tradisional dengan ukuran kapal ikan Republika.co.id.
Selain itu, ia menambahkan, kuota untuk setiap badan usaha jangan dipatok 100.000 ton/tahun. “Harus ada fleksibilitas untuk koperasi nelayan tradisional dan Perusda. Seyognyanya bisa kurang dari 100.000 ton/tahun,” ujar Prof Rokhmin yang membawakan makalah berjudul “Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Terukur yang Mensejahterakan dan Berkelanjutan: Dengan Fokus Implementasi di Wilayah ZEEI”.
Prof Rokhmin juga mengemukakan perlunya KKP (Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan, LPMUKP) atau KUR memberikan pinjaman kepada koperasi nelayan tradisional untuk membeli kapal ikan > 50 GT dengan alat tangkap (fishing gear) yang sesuai dengan jenis ikan target dan kondisi oseanografi – klimatologi di WPP-NRI di mana dia mendapatkan izin kuota penangkapan ikan.
“KKP dan Pemda perlu melakukan capacity building kepada nelayan lokal agar mampu mengoperasikan kapal modern dan melaut lebih dari dua minggu. Atau mendatangkan kapal ikan moderen dari Pantura, dan wilayah lainnya di NKRI. Dengan, ABK(anak buah kapal) 50 persen nelayan lokal dan 50 persen nelayan dari wilayah lain NKRI. Fishing master, nahkoda, dan ahli mesin dari daerah lain,” papar Rokhmin yang juga Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024.
Di samping itu, kata dia, perlu pemantauan dan pencatatan produksi ikan (fish landing) setiap kapal ikan yang mendapatakan izin penangkapan ikan (> 30 GT) dari Ditjen Perikanan Tangkap-Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPT-KKP), per satuan waktu (hari, minggu, bulan, atau tahun) di pelabuhan perikanan yang telah ditetapkan oleh KKP. “Juga, pemantauan dan pencatatan harga jual ikan dari setiap kapal ikan diatas, per satuan waktu di pelabuhan perikanan yang telah ditetapkan oleh KKP,” tutur ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.
Rokhmin juga menegaskan perlunya optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan oleh kapal ikan Indonesia di wilayah laut lepas (international waters), di mana Indonesia sudah mendapatkan kuota sejak 20 tahun terakhir, seperti di Samudera Hindia (The Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna atau CCSBT), Indian Ocean Tuna Commission atau IOTC, dan lain-lain.
Di awal pembahasannya, Rokhmin mengemukakan tantangan dan permasalahan pembangunan perikanan tangkap Indonesia. Antara lain, sebagian besar usaha penangkapan ikan bersifat tradisional: (1) tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale), (2) tidak menggunakan teknologi mutakhir, (3) tidak menerapkan Integrated Supply Chain Management System (manajemen terpadu hulu – hilir), dan (4) tidak mengikuti prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development); Banyak nelayan belum sejahtera (miskin); dan kontribusi Subsektor Perikanan Tangkap bagi perekonomian Nasional (seperti Produk Domestik Bruto atau PDB, nilai ekspor, dan PNBP) masih rendah.
Selain itu, tingkat (laju) penangkapan jenis stok ikan di beberapa WPP sudah overfishing, di beberapa WPP lain masih underfishing atau optimum dan sustainable (tingkat penangkapan atau maximum sustainable yield, MSY), akibat rejim pengelolaan yang open access dan tidak terukur. “Hal itu dengan catatan:Unit wilayah pengelolaan mestinya per wilayah perairan propinsi. Selain itu, jenis stok ikan jangan agregatif (pelagis besar, pelagis kecil, demersal, udang, dan seterusnya), tetapi harus berdasarkan pada spesies ekonomi penting,” paparnya.