Oleh: DR Denny JA, Ketua Umum Perhimpunan Penulis Satu Pena, Pengamat Politik Pendiri LSI.
Mereka yang menyukai wayang acap terpesona. Pertarungan dua keluarga, keluarga Pandawa melawan keluarga Kurawa penuh drama dan pesan moral.
Dua keluarga itu memperebutkan kerajaan Hastinapura. Drama wayang tersebut berasal dari kitab Mahabrata. Itu kisah yang sangat heroik, dan penuh petuah filsafat hidup.
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Apapun agama penggemar wayang: Islam, Kristen, Budha, Kong Hu Chu, bahkan tak beragama sekalipun, mereka larut dalam drama dan pesan moral kitab Mahabrata.
Bagi penganut agama Hindu, Mahabrata itu kitab suci. Mahabrata diyakini memang ditulis oleh Vyasa sekitar abad ke tiga sebelum masehi. Tapi penganut Hindu percaya Vyasa mampu menulis kitab tersebut karena dibantu oleh Dewa Ganesha.
Selalu ada keyakinan keterlibatan alam gaib, mahluk supernatural, di balik lahirnya kitab suci agama.
Dalam dunia modern, semakin banyak yang tak meyakini hadirnya alam supernatural dibalik kitab suci. Toh untuk kasus Mahabrata, mereka yang tak percaya Dewa Ganesha, bahkan yang tak meyakini agama Hindu, tetap dapat menikmati Mahabrata, mendapat inspirasi dari kitab itu.
Mengapa? Karena mereka menganggap dan memperlakukan Mahabrata sebagai karya sastra belaka.
Persepsi berbeda atas kitab suci menjadi realitas kunci masa kini dan masa depan agama. Bagi yang tak meyakini sebagian atau keseluruhan agama, tak meyakini dunia supernatural dibalik kitab suci, itu tak membuat agama mati. Agama hanya berubah bentuk menjadi sastra.
Indonesia, tepatnya Sulawesi Selatan, memiliki kasus agama dan kitab suci serupa.
Bagi penganutnya, itu kitab suci. Ia berasal dari sentuhan alam gaib. Tapi bagi yang tak percaya, apa yang dianggap kitab suci itu tetap memberikan inspirasi.
Kitab itu tetap menarik dipelajari. Mereka memberlakukannya tidak sebagai kitab suci, namun sebagai karya sastra belaka.
Itu adalah kasus La Galigo.