Masyarakat Tanah Air, sekarang ini, tengah menghadapi beban yang berat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra meminta para elite politik berhenti menciptakan polarisasi dalam masyarakat yang dapat menimbulkan konflik. Sebab, menurut dia, masyarakat saat ini tengah menghadapi kondisi yang cukup berat seperti kelangkaan dan mahalnya minyak goreng serta bahan bakar minyak (BBM).
Kata dia, kalau pemerintah yang sekarang mau meninggalkan legacy, warisan yang positif salah satunya itu harus lah berhenti menciptakan polarisasi dalam masyarakat agar masyarakat tetap rukun. “Apalagi, masyarakat kita sekarang ini menghadapi beban yang berat, sampai hari ini pun emak-emak masih antre minyak goreng coba,” ujar Azyumardi dalam diskusi daring bertajuk Politisasi Desa Dalam Perspektif Etika Pemerintahan pada Sabtu (9/4).
Sebab, dia pun merasakan hal tersebut bersama istrinya, yang hendak membuat 100 paket sembako untuk dibagikan kepada tetangganya. Namun, supermarket membatasi pembelian minyak goreng (migor) maupun gula pasir.
“Jadi kalau saya pergi dengan istri saya, masing-masing ambil dua kilo, jadi saya harus datang 25 kali ke supermarket bolak-balik,” kata dia.
Tak hanya itu, para bapak pun harus antre untuk membeli solar dan pertalite. Seperti diketahui, pemerintah menaikkan harga pertamax yang membuat sebagian besar pelanggannya beralih ke pertalite.
“Sementara bapak-bapak kita antre solar, antre pertalite, enggak ada pertalite harus beli pertamax, pertamax mahalnya bukan main, begitu juga solar,” tutur dia.
“Solar dex, pertadex, mobil saya pakai itu dalam bulan ini sudah dua kali naik, 3.000, 3.000. Menurut saya sih, coba langkah-langkah politik yang kurang produktif bisa mengganggu stabilitas, perpecahan polarisasi dalam masyarakat, konflik horizontal, menurut saya sih harus dihentikan,” lanjut dia.
Azyumardi meminta, elite penguasa dan para politikus menghentikan langkah yang kurang produktif, yang justru mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Dia juga meminta, mereka tidak melibatkan masyarakat dalam perang isu-isu politik antarpara politikus dan juga penguasa, seperti wacana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, penundaan pemilu, maupun perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Dia menyinggung dukungan kepala desa untuk tiga periode Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara Silaturahmi Nasional Kepala Desa di Istora Senayan Jakarta pada Selasa (29/3) lalu. Menurutnya, dukungan itu jelas merupakan politisasi dan kampanye di luar waktu yang ditentukan.
“Kalau mau amandemen tempuh cara-cara yang tidak melibatkan masyarakat kita, rakyat kita, warga kita. Cobalah misalnya lewat partai politik, DPR, walau kita sudah tahu enam partai politik itu enggak suka, menolak, menutup pintu amandemen,” kata dia.