Mereka harus diberi pendekatan secara bijak.
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA — Upaya dakwah terhadap kaum marginal memiliki tantangan berat dan pasti melewati jalan berliku. Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, Tafsir, pun menceritakan pengalaman dakwaknya terhadap kaum marginal, dalam hal ini kelompok waria.
Tafsir mengingatkan, dakwah terhadap kaum marjinal harus dilakukan dengan cara yang ramah bukan dengan marah-marah. Mereka harus diberi pendekatan secara bijak. Bahkan, kata dia, ketika berdakwah terhadap kaum marginal, sebaiknya tidak memosisikan diri sebagai penceramah, melainkan sebagai pendengar.
“Bagaimana menyampaikan dakwah yang menggembirakan. Dakwah kita harus menyapa siapapun tanpa memilih orang. Termasuk kaum marjinal,” ujarnya dalam seminar pra-Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah ke-48 yang digelar di Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Kamis (31/3).
Tafsir memahami betul, umat Muslim pastinya menolak praktik LGBT sebagai gaya hidup. Namun bukan berarti boleh menyia-nyiakan atau mengabaikan mereka yang menjadi korban LGBT. Karena selamanya mereka tetap sebagai manusia yang mrmpunyai hak sama untuk masuk surga.
“Pertanyaannya siapa yang mau mengarahkan mereka masuk surga kalau kita gak peduli. Mereka kebingungan dan butuh pertolongan,” katanya.
Maka dari itu, lanjut Tafsir, pendampingan yang diberikannya kepada kaum waria tersebut dilakukan dengan cara mendudukan mereka sebagai manusia. Karena sejatinya dakwah jangan hanya memahami ayat Alquran dan hadis saja, tapi juga harus memahami manusia yang menjadi objek dakwah tersebut.
“Kita dudukan mereka sebagai manusia yang perlu kita arahkan pada ihdina sirotol mustaqim. Mereka orang sakit yang perlu kita sembuhkan. Mereka layaknya yatim yang ada dalam keterasingan,” ujar dia.
Tim penanganan fakir miskin Kemensos, HM Arifan, pun membenarkan betapa berlikunya jalan dakwah terhadap kaum marginal. Pria yang juga terlibat pemberdayaan warga eks lokalisasi Gang Doli itu membagikan pengalaman dakwah terhadap kaum marginal, dalam hal ini PSK di daerah Dupak Bangunsari, Surabaya.
Arifan juga mengingatkan betapa luasnya lahan dakwah yang tersedia dan perlu digarap baik oleh Muhammadiyah maupun ‘Aisyiyah. Ia pun berharap ‘Aisyiyah mempunyai kelompok binaan yang riil. Seperti waria, mereka yang pernah terjerat narkoba, ataupun kelompok PSK.
Sementara itu, anggota Majelis Kesejahteraan Sosial Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Rofah menyatakan, lembaga-lembaga yang berada di bawah Muhammadiyah terus berupaya memenuhi hak-hak penyandang disabilitas sebagaimana ditetapkan undang-undang. Pada 2021, tercatat ada sekitar 209.604 penyandang disabilitas di Indonesia.
‘Aisyiyah diakuinya memiliki fokus pada perlindungan sosial bagi kelompok rentan, yang di antaranya adalah penyandang disabilitas, lansia, dan anak. Maka dari itu, ‘Aisyiyah terus berupaya menghilangkan stigma masyarakat yang mendiskreditkan kaum disabilitas.
Ia pun menjabarkan langkah yang bisa dilakukan perserikatan dalam rangka mewujudkan pembangunan inklusif bagi kaum disabilitas. Di antaranya dengan cara menciptakan institusi pendidikan Muhammadiyah yang inklusif, yang bisa mengakomodir anak-anak disabilitas mulai TK hingga perguruan tinggi.
“Kita tidak boleh menolak siswa dengan disabilitas. Kita harus membangun sekolah yang aksesibilitas,” ujarnya.
Muhammadiyah dan lembaga-lembaga di bawah naungannya juga diharapkan mampu menciptakan aksesibilitas pekerjaan. “Kita telah memberikan pendampingan kemandirian ekonomi terhadap kelompok disabilitas. Bukan hanya pelatihan tapi membantu hingga proses pemasaran,” kata dia.