Pada awal pandemi, permintaan bahan bakar menurun karena orang tinggal di rumah.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Konflik Rusia-Ukraina menyebabkan sejumlah dampak, seperti meroketnya harga bahan bakar. Saat ini, harga bensin di Amerika 4 dolar AS atau sekitar Rp 52 ribu per galon (1 galon=3,78 liter).
Produsen tampaknya tidak mau atau tidak mampu untuk memompa cukup pasokan demi mengisi kesenjangan yang disebabkan oleh perang. Bagi warga Amerika, ini membuat biaya hidup akan semakin mahal karena banyak barang seperti makanan yang harus diangkut dengan truk, kapal, atau pesawat yang menggunakan bahan bakar fosil.
Harga bahan bakar yang lebih tinggi juga memiliki konsekuensi yang lebih luas. Dorongan untuk mengebor lebih banyak minyak dan gas alam atau untuk lebih agresif mengejar sumber energi alternatif, dapat memengaruhi perubahan iklim. Publik yang marah atas biaya hidup dapat memprotes atau memilih politisi yang berkuasa. Ini membuat warga di Amerika dan negara-negara lain yang membantu Ukraina mulai menanyakan apakah dukungan mereka sepadan dengan harga bensin yang semakin mahal.
Produsen dan harga rendah
Pada awal pandemi, permintaan bahan bakar menurun karena orang tinggal di rumah. Saat sebagian besar wilayah sudah melakukan aktivitas normal, permintaan kembali meningkat. Namun, ini terhambat dengan masalah pasokan. Perang di Ukraina memperburuk pasokan minyak dan gas.
Negara penghasil minyak dan Rusia OPEC Plus telah menjaga harga dengan membatasi pasokan. Perusahaan minyak Amerika sengaja memperlambat produksi setelah siklus boom and bust terjadi yang membuat mereka kekurangan pasokan dan anjloknya harga.
Semua itu hanya menyisakan sedikit solusi bagus dalam jangka pendek. Bahkan, jika tekanan publik atau pasar yang tegang pada akhirnya mendorong produsen untuk mengebor lebih banyak, produksi baru dapat memakan waktu berbulan-bulan untuk ditingkatkan, mengingat kekurangan tenaga kerja dan pasokan.
Solusi potensial lain, seperti pembebasan pajak bahan bakar atau bantuan tunai langsung, dapat memperburuk inflasi. “Kami tidak dalam posisi untuk membantu rumah tangga saat ini karena itu akan menyebabkan lebih banyak inflasi,” kata Ekonom di Harvard, Jason Furman.
Sementara itu, beberapa ahli menyarankan peluang terbaik dari penurunan cepat harga bahan bakar adalah varian Covid-19 baru atau resesi yang membebani ekonomi dan permintaan.