sumber: laduni.id
NYANTRI–Pondok Pesantren Buntet salah satu pondok berpengaruh dan tua di Cirebon. Pondok ini didirikan oleh seorang mufti besar Kesultanan Cirebon yakni KH. Muqoyyim pada 1785. Mengapa Kiai Muqoyyim memberi nama “Buntet”?. Menurut buku Meneguhkan Islam Nusantara, Biografi Pemikiran & Kiprah Kebangsaan Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj karena “Buntet” mengandung makna yang mendalam.
“Buntet” memiliki arti meskipun pondoknya kecil dan santrinya sedikit yang penting ilmunya bermanfaat untuk masyarakat. Sang pengasuh menekankan pelajaran Al-Quran ditanamkan kepada santri-santrinya. Kini pesantren ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pesantren ini sadar tentang kebutuhan masyarakat masa kini sehingga mereka memadukan sistem pendidikan salaf dan modern.
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Letak Pondok Pesantren Buntet yang sekarang berbeda dengan saat awal pendiriannya. Lokasi pertama pesantren ini berada di Desa Bulak (daerah Dawuan Sela) kurang lebih 500 meter dari lokasi pesantren yang sekarang di Desa Mertapada Kulon.
Sebagaimana pesantren-pesantren di zaman penjajahan, pesantren Buntet juga menentang penjajah hingga menjadi sasaran amukan penjajah Belanda. Kiai Muqoyyim tak ingin bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda yang saat itu menguasai Cirebon. Karena itu, Kiai Moqoyyim yang merupakan keluarga Kesultanan Cirebon tak mau tinggal di keraton.
Pemerintah Hindia-Belanda pun marah sehingga menyerang Pesantren Buntet dan membumi hanguskan. Namun Kiai Muqoyyim berhasil menyelamatkan diri dan terus melakukan dakwan Islamnya lalu memindahkan pondok pesantren dari Desa Bulak ke Desa Mertapada Kulon.
Dalam sejarahnya, pesantren ini konsisten melawan penjajah Belanda. Di awal kemerdekaan, KH. Abbas Abdul Jamil, yang merupakan generasi ketiga setelah kepemimpinan Kiai Muqoyyim memiliki peran penting dalam mengawal resolusi jihad 22 Oktober 1945 bersama Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Dalam cerita sejarah disebutkan bahwa andai kiai-kiai Cirebon yang ditunggu Kiai Hasyim Asy’ari tak datang maka perang 10 November 1945 di Surabaya tak akan terjadi. Pasalnya, Bung Tomo saat itu meminta petunjuk kepada Kiai Hasyim Asy’ari tentang hari penyerangan oleh santri dan pemuda.
Namun saat itu, Kiai Hasyim Asy’ari meminta agar bersabar menunggu kiai-kiai dari Cirebon. Para kiai tersebut yakni KH. Abbas Abdul Jamil (Buntet) dan Kiai Amin Sepuh (Babakan Ciwaringin). Kiai-kiai Cirebon lainnya juga datang ke Pondok Pesantren Tebuireng pada 9 November 1945 atau satu hari sebelum penyerangan. Kiai Abdul Jamil dan Kiai Amin Sepuh terkenal sakti sehingga sangat membantu penyerbuan hingga akhirnya meraih kemenangan.
Pondok Pesantren Buntet tak bisa dilepaskan dari sejarah Cirebon. Mereka salah satu jaringan pesantren yang menjadi penerus perjuangan dakwah Syekh Syarif Hidayatullah. Pesantren Buntet pasca Kiai Muqoyyim kemudian diasuh oleh kiai-kiai yang disepuhkan di antaranya, KH. Muta’ad, KH. Abdul Jamil, KH. Abbas Abdul Jamil, KH. Mustahdi Abbas, KH. Mustamid Abbas, KH. Abdullah Abbas, KH. Nahduddin Abbas.