Puasa harus menjadi spirit dalam upaya peningkatan produktivitas kerja.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof. Wan Jamaluddin Z, PhD,
Rektor Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Setiap muslim beriman selalu menyambut datangnya bulan Ramadan dengan riang gembira dan penuh kesungguhan. Terlebih, bulan suci 1443 H ini datang dalam kondisi bangsa yang relatif lebih baik dari sebelumnya, yakni semakin melandainya virus covid-19 dan dalam proses peralihan dari pandemi menuju endemi. Jika pada dua tahun yang lalu segala aktivitas ibadah dibatasi, seperti pelaksanaan salat tarawih di Masjid, mudik, halal bihalal, maupun kegiatan muamalah lainnya dibatasi, maka Ramadan 1443 ini sebagian besar sudah berubah, umat Islam bisa kembali tarawih berjamaah di masjid, bisa mudik bertemu dengan keluarga, merayakanan idul fitri dan aktivitas-aktivitas lainnya, tentu dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Kondisi yang lebih baik dari sebelumnya ini tentu wajib untuk disyukuri, salah satu caranya dengan menghidupkan spirit kebaikan di bulan Ramadan. Banyak amaliah berpahala besar jika dilakukan di bulan suci, maka dari itu setiap muslim beriman harus meningkatkan amalan jauh dibandingkan amalan di bulan lain. Tujuan puasa adalah agar menjadi muslim yang bertakwa. Kata takwa tentu mencakupi berbagai kebaikan yang dilakukan. Termasuk dalam aktivitas pekerjaan setiap individu yang menuntut profesionalisme.
Dalam ibadah puasa, setidaknya ada tiga nilai pokok, pertama adanya sikap kritis dan peduli terhadap lingkungan sosial, kedua, adanya keterkaitan antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial dan ketiga mampu melahirkan jiwa yang kreatif dan inovatif.
Etos kerja
Puasa tentu tidak boleh menjadikan umat Islam untuk bermalas-malasan. Puasa justru harus menjadi spirit dalam upaya peningkatan produktivitas kerja. Sejarah banyak mengungkap tentang etos kerja saat Ramadan, seperti perjuangan Rasulullah SAW dan kaum muslimin dalam Perang Badar yang terjadi pada 17 Ramadan.
Fakta di balik peristiwa ini menunjukkan bahwa puasa yang dilaksanakan mampu menumbuhkan etos kerja dan daya juang yang tinggi. Puasa dapat meningkatkan etos kerja jika dilaksanakan dengan ilmu. Puasa dapat berfungsi dengan baik jika dilakukan dengan baik pula. Puasa dapat meningkatkan semangat meskipun pelakunya tidak memiliki banyak energi karena tidak makan dan tidak minum. Namun, ilmu dan movitasi untuk terus berbuat baik justru akan mendapatkan energi dari Allah.
Semua ibadah di bulan Ramadan dilipat gandakan pahalanya. Maka karena nilai ibadahnya tinggi, sudah pasti setiap orang akan berlomba-lomba untuk beraktivitas dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja yang baik. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa setelah orang beriman melaksanakan ibadah puasa dan amalan-amalan lainnya harus menyikapinya dengan dua maqam, yaitu khauf (khawatir) dan raja’ (harap).
Artinya setiap orang yang berpuasa harus menjadikan puasa benar-benar sebagai ibadah yang agung dan dapat membawa inspirasi bagi individu, keluarga, institusi dan umat secara keseluruhan.
Puasa sesungguhnya akan melahirkan spirit dalam etos kerja. Pertama, akan memunculkan hubungan spiritual yang erat manusia dengan Allah, sehingga menjadikan manusia bersungguh-sungguh dalam peningkatan produktivitas kerja.
Kedua, spirit menjadikan manusia menjaga hubungan yang harmonis, selaras dan serasi dengan relasi kerjanya. Baik antara bawahan dengan atasan, maupun antar institusi. Ketiga, spirit melahirkan manusia pada level saling menghargai dan tolerans. Ketiga adalah spirit puasa akan meningkatkan profesionalisme dalam setiap pekerjaan.
Ramadan menjadi ujian awal untuk menguji etos kerja seseorang. Jika etos kerja meningkat selama Ramadan, maka sudah bisa dipastikan secara alamiah bahwa produktivitas kerjanya juga terus meningkat pada bulan-bulan setelah Ramadan.
Kesalehan Sosial
Ramadan merupakan bulan penuh keberkahan dan kemuliaan, maka hikmah dan kebajikannya bersifat multidimensional, tak hanya moral dan spiritual, tetapi juga sosial. Puasa tak hanya membentuk kesalehan individual melainkan sekaligus juga kesalehan sosial. Dalam kenyataannya, masih terdapat ketimpangan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Masih ada orang yang saleh secara individual, namun kurang saleh secara sosial.
Kesalehan individual kadang disebut juga dengan kesalehan ritual, karena lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual. Disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri.
Sementara pada saat yang sama mereka tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai islami dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan kesalehan sosial menunjuk pada perilaku yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Dalam Islam, kedua corak kesalehan itu merupakan suatu keniscayaan dan harus dimiliki seorang Muslim. Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur dari ibadah ritualnya, tetapi juga dilihat dari output sosialnya.
Islam bukanlah agama individual melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). Agama yang tidak hanya untuk kepentingan penyembahan dan pengabdian diri pada Allah semata tetapi juga menjadi rahmat bagi semesta alam. Puasa implikasi sosialnya juga sangat jelas, diharapkan dengan menahan diri dari berbagai kesenangan duniawi, seseorang akan mampu merasakan kaum dhuafa dan mampu bersimpati terhadap derita orang lain. Puasa memiliki multifungsi, fungsi puasa adalah tahzib, ta’dib dan tadrib.
Puasa merupakan sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa (ta’dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa yakni takwa.
Takwa dan kesalehan sosial tak bisa dipisahkan. Dalam Kesalehan sosial juga tercakup kesalehan profesional. Kesalehan profesional menunjukkan sejauh mana perintah agama dipatuhi dalam kegiatan profesional.