By | April 13, 2022

Sportivitas sepak bola di Indonesia masih menjadi sesuatu yang utopis.

Oleh : Mohammad Akbar, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID,  Ada kisah menarik selepas big match Liga Primer Inggris antara Manchester City dan Liverpool, akhir pekan kemarin. Duel yang saling memperebutkan posisi teratas klasemen Liga Inggris itu boleh dibilang menjadi pertarungan gengsi bagi kedua belah pihak. 


Emosi penonton pun seakan dikocok-kocok ketika menyaksikan gol demi gol diciptakan — bahkan salah satunya dianulir oleh VAR, hingga aksi tackling maupun upaya menghadang pergerakan lawan dengan cara menarik badan lawan. Tapi semua itu hanya tersaji di lapangan, saat permainan terjadi sepanjang 90 menit lebih. 


Sesudahnya, rivalitas sarat emosi itu tak lagi menjadi dendam membara yang harus dipupuk. Kedua pelatih, Pep Guardiola dan Juergen Klopp, langsung menunjukkan sikap sportif untuk bersalaman, bahkan berpelukan. Begitu juga dengan para pemain yang bisa saling bercengkrama meski mereka berbeda klub. 


Inilah sebuah gambaran ideal bagaimana semangat sportivitas olahraga itu seharusnya dibangun. Aksi psywar bukanlah sesuatu yang terlarang. Namun ketika psywar terus dipupuk hingga menjelma menjadi kebencian yang mendarah daging maka di sana sudah terkubur sebuah semangat esensial olahraga bernama sportivitas.


Menyitir penjelasan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara daring, sportivitas itu diartikan sebagai sikap adil (jujur) terhadap lawan; sikap bersedia mengakui keunggulan (kekuatan, kebenaran) lawan atau kekalahan (kelemahan, kesalahan) sendiri; kejujuran; kesportifan.


Apa yang terjadi dari peristiwa duel City vs Liverpool itu justru dengan sangat jeli direkam menjadi tulisan yang diunggah pada laman BBC Sport, Senin (11/4) lalu dengan judul Rivalry is fierce on the pitch but friendly off it. Sebuah kutipan pernyataan dari Kevin De Bruyne cukup untuk menunjukkan bahwa rivalitas memang harus dijaga namun api permusuhan selepas laga harus segera dipadamkan. 


“Saya pikir begitulah seharusnya. Anda tidak perlu bertarung sepanjang waktu. Kami bertarung di lapangan dan cukup di sana saja,” begitu BBC menyitir ucapan De Bruyne. 


Tapi apakah gambaran sportivitas yang ditunjukkan dari big match City kontra Liverpool itu menjadi representasi secara utuh dari sepak bola Eropa, khususnya di daratan Inggris? Rasanya, hal semacam itu bukanlah sesuatu yang selalu terjadi dalam kompetisi sepak bola di Eropa. 


Dalam sebuah buku berjudul “Memahami Dunia Lewat Sepak Bola” karya Franklin Foer begitu gamblang diuraikan betapa praktek-praktek yang jauh dari semangat sportivitas itu sebenarnya telah menghiasai perjalanan sepak bola dunia biru Eropa sejak lama. Mulai dari lahirnya kelompok hooligans, sentimen-sentimen SARA yang coba dibawa ke lapangan hijau, hingga bagaimana praktek korupsi telah menunjukkan bahwa sportivitas ideal layaknya City vs Liverpool sebenarnya hanyalah sebuah anomali dari sepak bola Eropa secara umum. 


Tengoklah ke Italia, Spanyol hingga di Inggris sana. Bagaimana aksi-aksi rasisme itu masih saja tumbuh subur pada kelompok-kelompok suporter maupun pemain yang kerap mencela para pemain kulit berwarna. Semua itu masih saja terjadi sampai sekarang. Tak mengherankan jika FIFA masih saja mengingatkan betapa perang melawan rasis maupun kekerasan menjadi kerja besar dan kerja jangka panjang untuk dapat menumbuhkan sportivitas tersebut.


Bahkan dalam publikasi terbaru otoritas sepak bola Eropa (UEFA), lembaga ini baru saja memberikan hukumannya kepada manajer klub Norwegia Bodo/Glimt Kjetil Knutsen dan pelatih penjaga gawang klub Italia AS Roma Nuno Santos yang terlibat kekerasan fisik pada saat pertandingan Liga Conference Europa di Norwegia pekan lalu.


Lalu melompat jauh ke luar Eropa, sportivitas sepak bola di Indonesia rasanya masih jauh dari harapan ideal sebagaimana yang ditunjukkan oleh City maupun Liverpool. Pada saat kompetisi Liga 1 ini tuntas pada pengujung Maret silam, Persipura langsung menyuarakan adanya aksi main mata pada dua pertandingan, PSS kontra Persija dan Barito Putera kontra Persib, yang perlu diinvestigasi oleh PSSI. 


Meski belakangan muncul juga kontra narasi dari para suporter Persipura yang menuding manajemen klub hanya berusaha mencari kambing hitam atas degradasinya klub ke Liga 2 namun persoalan sportivitas olahraga di negeri ini belumlah seideal yang terjadi di Liga Inggris.


Masih miskinnya sportivitas dalam sepak bola Indonesia juga pernah terjadi pada Desember 2019, sebelum kompetisi dihentikan akibat pandemi Covid-19. Duel penentuan antara Semen Padang kontra PSIS Semarang di Stadion Moch Soebroto, Magelang, telah memperlihatkan coreng bagi nilai sportivitas. Laga yang menjadi penentu degradasi itu membuat wasit mengeluarkan 10 kartu, terdiri tujuh kartu kuning, satu kartu kuning-merah, dan satu kartu merah. 


Sekali lagi, inilah tantangan bagi para stakeholders sepak bola di Indonesia untuk sekuat tenaga menciptakan ekosistem sepak bola yang bisa menjunjung nilai-nilai sportivitas olahraga. Jika Franklin Foer pernah merekam jejak-jejak kelam sportivitas di masa lalu tapi mereka mampu bertransformasi menjadi lebih baik, maka bukan hal yang tak mungkin situasi semacam itu dapat terjadi juga di Indonesia. 


Untuk menuju situasi semacam itu maka perlunya melakukan pembenahan internal kepada para stakeholders sepak bola, mulai dari klub, suporter, hingga PSSI sebagai otoritas tertinggi sepak bola Indonesia. Jujur saja, apa yang terepresentasi di lapangan hingga saat ini, rasanya sportivitas sepak bola di Indonesia masih menjadi sesuatu yang utopis. Benarkah klaim itu atau kita ingin menyangkalnya?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *