Berbicara mengenai Al-Quran maka kita juga berbicara mengenai Ulumul Quran. Dibulan Ramadhan ini, pastinya banyak dari kita yang ingin menabung amal ibadah karena balasan pahala yang berlipat ganda. Salah satu amalan yang paling dilakukan umat muslim ialah memperbanyak membaca Al-Quran. Kita pun tak luput dari yang namanya belajar dan terus memperbaiki bacaan Al-Qur’an kita, yakni membacanya dengan tikaman. Bahkan ada yang sudah belajar dan mempelajarinya sampai pada qiraat.
Terlebih, tingkatan yang paling tinggi penahan dan bahan qQuran seseorang dilihat dari pengetahuannya terhadap bacaannya dengan menggunakan qiraat. Namun, tahukah kamu sejarah qiraat itu sendiri?
Umumnya, masyarakat muslim mengenal yang namanya qiraah sab’ah. Biasanya pertanyaan ini paling diburu, mengapa qira’at Ashim riwayat Hafs yang paling dominan dan paling banyak digunakan dalam praktek bacaan Al-Qur’an oleh masyarakat muslim dunia?
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Awalnya, ketika ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan, Nabi Muhammad saw beberapa kali meminta kepada malaikat Jibril a.s. untuk menambahkan bacaan Al-Qur’an yang diberikan kepadanya. Rasulullah merasa kurang jika hanya satu bacaan saja yang disampaikan oleh malaikat Jibril. Untuk itulah malaikat penyampai wahyu ini, melalui petunjuk Allah, menambahkan qira’at (bacaan) Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad.
Demikianlah pemaknaan hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhārī dan Muslim yang bersumber dari Ibnu ‘Abbās. Hadis ini menjadi dalil otoritatif yang cukup popular bagi penggiat kajian ‘Ulumul Qur’an yang melegitimasi dan sekaligus memberikan informasi yang valid tentang eksistensi qira’ah sab’ah dalam disiplin ilmu ‘Ulumul Qur’an.
Selain hadis di atas, terdapat beberapa hadis lain yang bertutur tentang qira’at sab‘ah, di antaranya adalah hadis yang bersumber dari ‘Umar bin Kha ̄ ̄ā, yakni suatu ketika berselisih bacaan dengan Hisyām bin Hakim ketika membaca potongan ayat Surah al-Furqān dalam satu pelaksanaan salat. Dikemudian hari,bacaan keduanya yang berbeda itu dibenarkan semua oleh Rasulullah saw. Di akhir hadisnya Rasulullah kemudian menjelaskan yang artinya:
“Demikianlah Kitab ini diturunkan, sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang mudah darinya.” (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim).
Dalam beberapa riwayat dari hadis-hadis tentang ahrufus- sab‘ah ini Nabi mengemukakan kepada Allah tentang sebab mengapa ia menyampaikan permintaan tersebut, yaitu bahwa umatnya terdiri dari berbagai macam lapisan masyarakat dan umur. Ada yang tidak bisa membaca dan menulis, ada yang sudah tua dan ada pula yang masih kecil. Semuanya adalah pembaca Al-Qur’an. Jika mereka diharuskan membaca Al-Qur’an dengan satu variasi bacaan saja, akan mengalami kesulitan. Padahal Al-Qur’an harus disosialisasikan kepada masyarakat diseluruh belahan dunia. Untuk itulah Allah kemudian menurunkan Al-Qur’an dengan sejumlah variasi bacaan yang popular dengan sebutan al-qirā’āt as-sab‘.
Masa kepemimpinan Khalifah Usman menjadi tonggak pertama pembakuan berbagai versi bacaan Al-Qur’an. Pembukuan mushaf yang dilakukan Khalifah Usman, namun bukan berarti menghentikan munculnya variasi bacaan Al- Qur’an. Seiring berjalannya waktu, variasi bacaan itu semakin beragam, dan bahkan tidak terkontrol. Fenomena munculnya variasi bacaan yang semakin beragam ini muncul setelah kepemimpinan Usman hingga menyentuh awal-awal abad ke 4 Hijriah.
Pada masa itulah, tepatnya pada tahun 322 H., Khalifah ‘Abbasyiah lewat dua orang menterinya Ibnu ‘ ́sā dan Ibnu Muqlah, memerintahkan Ibnu Mujāhid (w. 324 H) melakukan penertiban. Penertiban itu sendiri dilakukan karena bacaan-bacaan yang muncul nampak semakin liar. Ibnu Mujāhid sendiri adalah seorang pakar qira’at dan ilmu- ilmu Al-Qur’an yang bekerja pada pemerintahan ‘Abbasyiah. Pemerintahan ini merasa prihatin dengan banyaknya versi bacaan Al-Qur’an yang beredar. Dalam buku ‘Ijāzul-Qirā’āt al-Qur’āniah, Shabari Al Asywah bahkan menjelaskan, bahwa bacaan-bacaan yang beredar ketika itu mencapai 50 qira’at.
Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang terkumpul, Ibnu Mujāhid kemudian memilih tujuh varian bacaan dari para Qurra ternama, yakni Nafi’ (Madinah), Ibnu Katsir (Mekah), Ibnu Amir(Syam), Abū ‘Amr (Bashrah), ‘Ashim, Hamzah dan al-Kisā’ī (ketiganya dari Kufah). Pemilihan terhadap tujuh orang qurra ini dilakukan Ibnu Mujahid dengan cara melakukan pembandingan dan penelitian, sehingga munculah pilihan tersebut.
Keputusan Ibnu Mujāhid hanya memilih tujuh varian bacaan saja, menurut Moqsith Ghazali, agaknya diinspirasi oleh hadis Nabi yang banyak beredar ketika itu, yakni Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Secara implisit, Ibnu Mujahid ingin menegaskan bahwa yang dimaksud “tujuh huruf” dalam hadis tersebut adalah “tujuh varian bacaan” yang dipilihnya. Dalam disiplin ilmu qira’at, memang tujuh bacaan inilah yang dianggap memiliki kualitas periwayatan yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain tujuh, ada lagi pengelompokan qira’at lain, yakni qira’at sepuluh (al-qirā’āt al-‘asyr), qira’at empat belas (al-qirā’āt al-arba‘ah ‘asyr), bahkan hingga puluhan qira’at.
Pembakuan dan praktek tujuh variasi qira’at ini terus berjalan dalam sejarah peradaban Islam. Namun, seiring bergulirnya waktu, pelestarian dalam bentuk bacaan pada tujuh qira’at ini tidak merata dan tidak mencakup seluruh imam yang sudah dibakukan dalam bentuk tulisan. Dari tujuh imam yang ada, hanya empat imam saja yang qira’atnya dipraktekan oleh umat Islam. Kempat orang Imam ini adalah Imam Nāfi‘, Imam Abū ‘Amr, Imam Ibnu ‘Amir, dan Imam Ashim (dengan perawinya masing-masing). Dan dari empat orang Imam ini, hanya satu imam yang bacaannya paling banyak dan bahkan mendominasi seluruh bacaan umat Islam di dunia, yakni qira’at dari imam Ashim. (Yaya)