By | April 11, 2022

REPUBLIKA.CO.ID, Globalisasi bukanlah peristiwa baru. Sementara pakar menilai fenomena ini sebatas internasionalisasi yang berulang, tidak jauh berbeda jika dibandingkan saat Columbus menemukan benua Amerika (1492), bahkan serupa saat Dinasti Abbasiyah mendirikan Bait Al-Hikmah (813) yang pada masanya menjadi pusat perkembangan ilmu dunia. Globalisasi hanyalah sebentuk repetisi perkembangan relasi peradaban antarbangsa.

Betapa pun, ada yang berbeda dengan globalisasi dekade ini. Kian hari, masyarakat semakin sering dihadapkan dengan ingar bingar informasi. Perkembangan teknologi yang begitu cepat menjadi pendorong terbukanya curahan informasi dari berbagai sisi. Setiap detik suguhan informasi terlimpah, tersaji, dan terbuka untuk semua lapisan masyarakat.

Sebagai perumpamaan, di zaman dulu informasi terhidang seperti sajian a la carte, di mana masyarakat masih memiliki ruang memilih apa yang dibutuhkan. Saat ini, informasi ibarat hidangan di meja prasmanan. Karena terlampau banyak pilihan, tidak jarang, masyarakat mengonsumsi apa yang menarik mata, tapi sebenarnya membahayakan kesehatan.

Tren ini melahirkan pendangkalan. Dalam memahami persoalan, masyarakat dilelahkan dengan kepungan informasi yang terkadang sengaja digiring menuju opini tertentu. Jika tidak dibekali kemampuan untuk melihat substansi, pusaran globalisasi akan semakin kuat menyeret masyarakat pada proses pendangkalan pemahaman.

Ulul Albab: perpaduan iman dan ilmu

Bagaimana pendekatan yang bijak dalam menyikapi tren ini? Islam menempatkan pentingnya membentuk karakter Ulul Albab yang menjadi penopang untuk menghadapi segala perubahan zaman. Dari segi bahasa, albab seakar kata dengan al-lubab, yang bermakna sari pati. Ulul Albab dapat dimaknai sebagai orang yang memiliki kemampuan memahami inti permasalahan.

Dalam konteks ini, agar dapat jernih memahami substansi permasalahan, diperlukan kemampuan berzikir dan berpikir (QS Ali Imran 3:190-191). Potensi manusia untuk menggabungkan zikir dan pikir akan menghasilkan perpaduan iman dan ilmu. Iman menentukan arah yang dituju, ilmu menjadikan cepat sampai ke tujuan.

Berzikir adalah kerja kalbu sepanjang waktu, baik dengan lisan yang menyebut maupun hati yang mengingat kebesaran Allah SWT. Ulul Albab mengindikasikan karakter yang senantiasa mengingat Allah SWT. pada segala sesuatu. Semakin sering seseorang berzikir, semakin kokoh iman bertumbuh dalam kalbu.

Di lain sisi, berpikir (tafakur) adalah proses yang tertuju pada aspek material. Secara bahasa, tafakur seakar kata dengan fakr yang dapat dimaknai dengan mengorek. Dengan potensi ini, seseorang yang berpikir dengan benar akan mendorongnya merenungkan beragam fenomena alam dan sosial. Dari proses perenungan tersebut, lahirlah ilmu yang akan menjauhkan manusia dari petaka.

Menangkal pendangkalan

Karakter Ulul Albab merupakan jawaban atas persoalan sosial yang muncul akibat pusaran globalisasi. Pendangkalan pemahaman terhadap fenomena sosial perlu ditangkal dengan perpaduan zikir dan pikir, agar lahir kaum intelektual yang mampu memahami substansi masalah dan kalis dari kepentingan elitis.

Jika dibiarkan, masyarakat akan terus terjebak pada dialektika dikotomis akibat disrupsi informasi yang dihasilkan globalisasi. Suasana panas di media sosial akibat sikap merasa benar sendiri, misalnya, akan menjadi norma langgeng jika kaum intelektual berkarakter Ulul Albab tidak mengambil peran.

Dengan karakter Ulul Albab, kaum intelektual akan menjadi penggerak pembangunan peradaban yang pribadinya kokoh seperti pohon yang baik (QS Ibrahim 14:24-26). Imannya terhunjam kuat layaknya akar pohon, ilmunya senantiasa bertambah laksana cabang yang menjulang, kehadirannya selalu menjadi manfaat ibarat buah yang dipanen setiap musim.

Cendekiawan Ulul Albab juga sosok yang menjadi pelita bagi sekitarnya (QS An-Nur 24:35). Ilmu yang dimilikinya berlapis-lapis, seperti cahaya yang berkesinambungan. Akalnya terjaga dengan intuisi Ilahi. Karakternya mengedepankan moderasi, tidak terjebak pada ekstremisme Barat maupun Timur. 

Peran perguruan tinggi

Perguruan tinggi, meski bukan aktor tunggal, merupakan pihak penting yang bertanggung jawab mencetak generasi Ulul Albab. Harus diingat, pemimpin masa depan bangsa adalah mereka yang saat ini duduk di bangku kuliah. Karenanya, pendidikan tinggi harus dirancang sesuai tantangan zaman: menempa iman sebagai pondasi, menyulut ilmu sebagai pelita. 

Tentunya, perjalanan melahirkan karakter Ulul Albab membutuhkan komitmen serius dari para pendidik, jika enggan dikatakan sukar dan mendaki. Sebagai ilmuwan, pendidik harus berkhidmat pada tugas mencetak generasi pemimpin, tidak terjebak pada godaan popularitas atau justru gemar menimbun harta untuk kepentingan sendiri.

Perlunya niat pendidik yang kalis ini sejalan dengan nasihat Imam Al-Ghazali (Ihya’ Ulumid Din, juz 2, halaman 357) yang bermakna: “Maka, kerusakan rakyat itu karena kerusakan penguasa, dan rusaknya penguasa itu karena rusaknya para ilmuwan. Dan rusaknya para ilmuwan itu karena kecintaan pada harta dan kedudukan.”

Generasi Ulul Albab menjadi kebutuhan menjawab tantangan kini dan masa depan. Pusaran globalisasi akan terus mempercepat pendangkalan pemahaman, menjauhkan masyarakat dari peradaban yang madani. Karenanya, peran pendidik dalam mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi kunci penggerak lahirnya generasi yang mampu mencari akar masalah dalam fenomena sosial dan menghadirkan solusi bagi umat.

Wallahu a’lam

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *